BERTEMAN
DENGAN ANGIN MALAM
Oleh :
Parfum Jagat / Matrokhim
Lenti itu anak orang kaya. Arfi itu penjual nasi goreng, yang penghasilannya kurang mencukupi jika seandainya
mereka berdua menikah nanti. Rupanya langkah Lenti untuk mendekati dan didekati
Arfi, bernilai lebih sembilanpuluh. Itu masuk akal, karena Arfi orangnya
ganteng, meskipun Lenti mungkin tidak melihat itu. Mungkin Lenti melihat
keberanian Arfi dalam memecahkan persoalan hidupnya, sebelum mendapat pekerjaan
yang mapan. Tapi keyakinan karena kegantengan Arfi itu besar sekali.
Sambil mencuci piring, seringkali hati Lenti berdebar-debar. Badannya
sering berkeringat sendiri. Nah itu apa penyebabnya? Pasti karena berdampingan
Arfi. Seringkali dia melakukan memandangi Arfi sambil mencuci piring. Tubuhnya
yang sebenarnya tidak keras - keras amat menjadi keras. Bajunya serasa mengecil sendiri manakala bersandingan
dengan Arfi, padahal sudah berbulan-bulan mendampingi Arfi berjualan, namun
sepertinya perasaan itu susah untuk menghilang sendiri. Seharusnya pura – pura santai saja seperti
tidak ada apa – apa, tapi itu sulit sekali bagi Lenti.
Kini Lenti baru sadar, bahwa cinta itu takdir. Kita
tidak bisa membuat sayang. Dugaan Lenti sebenarnya Arfi itu juga mencintai
dirinya, tapi pura – pura saja dianya seperti tidak merasa apa – apa.Tanpa
disuruh Lenti membantu mengambili piring yang ada di meja – meja pelanggan.
“ Lenti, terimakasih ya ? “ senyum Arfi serasa kecupan
manis yang rasanya melebihi es campur, adem, nyaman, dan damai. Tumbuhan di
samping kedai seperti bergoyang – goyang sendiri memberi ucapan selamat atas
sapaan Arfi yang manis pada dirinya. Lenti tidak sanggup membayangkan jika
seandainya dirinya dan Arfi menikahi dirinya, dan setiap malam tidur
bersamanya.
Malam indah seperti itu berulang – ulang sampai
bermalam – malam. lalu lalang kendaraan menyapa ramah kedai Arfi yang lumayan
ramai. Malam ini Lenti memakai celana jean biru berkaos putih. Wajahnya yang
padat putih dibatasi tepian jilbab
merah. Tapi Arfi nampak biasa – biasa saja. Kecantikan Lenti yang ada di depan
wajahnya setiap malam tersuguh, seperti air di daun talas, menggelinding begitu
saja tanpa bekas. Arfi sibuk meladeni pelanggan dan tidak menyadari kalau
tangan kirinya menumpang di atas jemari putihnya, yang mempunyai tangan juga
diam saja, tidak berkata sepatahpun, matanya hanya menatap Arfi yang juga belum
tersadar dari perbuatannya.
“ Eh maaf Len….ya ? “ Arfi segera mengangkat telapak
tangannya, entah berapa lama jemari Lenti tadi dihangati telapak tangan yang
sangat diharapkan kehadirannya. Lenti tidak tahu apakah Arfi merasakan sesuatu
seperti yang dia rasakan. Lenti sangat merasakan kebahagiaan ini seperti
degupan nadi yang terus menerus melakukan tugasnya tanpa membantah. Lenti
meninggalkan serbet tangan yang kebetulan berada di dekat Arfi tadi. Untungnya
serbet ada didekat Arfi sehingga Lenti dapat keberuntungan seluarbiasa itu.
Namanya rizki selalu ada di mana saja dan kapan saja.
Lalu lalang kendaraan menjadi menu utama suasana malam berharga bagi Lenti. Setidaknya
memberi air kehidupan, bukan saja seperti tetesan hujan yang dapat melubangi
batu, tapi seperti air terjun kembar yang mengalir deras di waduk yang kering.
Ketika Lenti melangkah mau meletakkan piring yang
sudah dicuci, kakinya terpeleset botol kecil bekas minuman kemasan. Tanpa sadar
mulutnya berteriak “ Arfiiiii….! “ Sontak Arfi yang masih meladeni pelanggannya
menoleh kearah suara berasal. Terlihat Lenti dalam keadaan terjongkok. Tanpa
izin, tanpa sadar Arfi merangkul tubuhnya dan membawanya berdiri. Sementara waktu
Arfi tidak berfikir apa – apa, lama kelamaan jantungnya berdegup lebih kencang
dari sebelumnya. Mulut Arfi belum juga bersuara sampai membawa tubuh Lenti
berdiri. Arfi hanya memandangi Lenti, kali ini Arfi sudah berani menatap
wajahnya, terutama memandangi bibir Lenti yang memang sangat menawan.
“ Sudahlah Len, kamu nggak usah cuci – cuci piring
segala, kan ada si Rini. “ ungkap Arfi lembut seraya membawanya ke dipan kecil
di sudut kedai.
“ Kasihan si Rini Arfi.” ungkap lembutnya membuat Arfi
merasa nyaman. Lenti ingin sekali Arfi selalu berada di sampingnya seperti ini.
Lenti juga merasakan kalau Arfi memperhatikan
sesuatu pada dirinya. Secepatnya Lenti membawa matanya kea rah lain,
agar Arfi leluasa menikmati permukaan wajahnya.
“ Istirahat dulu jangan kemana – mana ! “ secepatnya
Arfi mengalihkan perhatian padanya, dan Lenti sangat paham akan hal itu.
Meskipun dalam hati Lenti kurang lama dia memperhatikan dirinya. Lenti
membetulkan bajunya yang agak tersingkap ke atas. Dan secepatnya berdiri dan
berjalan membantu Arfi.
Malam semakin larut. Lalu lalang kendaraan semakin
sepi. Hanya tinggal beberapa termasuk taxi online yang sering mangkal tak jauh
dari kedai Arfi. Tumben Arfi malam ini mau mengantarkan Lenti ke rumah. Mungkin
karena tadi terpeleset saat di kedai. Sebagai imbal balik Arfi mau mengantarkan
Lenti pulang. Setiap malam seperti ini Lenti sangat senang, semoga berlanjut
besok dan seterusnya.
Pohon rindang di tepi halaman sekolah menjadi hunian
abadi Lenti saat istirahat di kampusnya. Buku Lenti jatuh manakala tangannya
disentuh Meta, teman curhatnya. Meta ngakak tak jelas apa maksudnya.” Sudah
ditembak belum ? “
“ Boro – boro nembak Met, pegang tanganku juga jarang
– jarang.” sahut Lenti sambil menggeser bokongnya memberi tempat duduk Meta.
“ Nanti habis kuliah ke CafĂ© Melati Putih ya ? “
pintanya sambil kabur menuju kelas, karena melihat dosennya sudah datang.
Di dalam pikiran Meta berkecamuk bermacam – macam
peristiwa. Semoga hanya peristiwa – peristiwa baik yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Jangan – jangan ada masalah antara Lenti dan
Arfi. Mana mungkin? Masalah apa?
Ditembak saja belum? Tanpa
disadari Meta berusaha menebak – nebak apa yang terjadi pada Lenti. Tapi lama
kelamaan, dibiarkan saja pikiran – pikiran itu seperti air yang mengalir. Agar
mencari hilirnya sendiri. Buat apa ikut larut dalam masalahnya.
“Gini Met, ibuku maunya aku kuliah di Jakarta.” ungkap
Lenti sedih dan nampak bingung. Itu berarti jauh dari Arfi.
Sia-sialah pendekatan selama ini. Perjuangan Lenti mendapatkan cinta Arfi
seperti setetes air pada tanah kering, hilang tak ada gunanya. Belum juga
berhasil sudah harus berjauhan, ya tamat sudah perasaan yang selama ini
diperjuangkan.
“Semua tergantung kamu Len, lanjut atau berhenti. Tapi aku yakin Len, kalau
memang jodoh pada suatu saat nanti insyalloh bertemu.” ungkap Meta memberi
semangat teman satu-satunya yang sama-sama hoby menyanyi itu.
Saran Meta memberi warna pada pikiran Lenti, yaitu berpamitan pada Arfi,
dan menunggu reaksinya. Sebelum berangkat ke kedai Arfi, ibunya mengamati Lenti yang cepat – cepat keluar
kamar dan menuju jalan menunggu gojeknya. Ibunya membuntutinya dan mengamati
dari teras rumah.
Seperti biasa kedai Arfi ramai. Lalu lalang kendaraan masih seperti
kemarin.
“Aku harus kuliah ke Jakarta Ar,” Lenti memberanikan diri bicara niatnya.
Parahnya Arfi tak kaget sama sekali. Wajahnya tidak menoleh ke Lenti sedikitpun
sebagai tanda terkejut atau merasa sedih gitu. Tidak sama sekali. Semakin besar
rasanya, Lenti menuruti kemauan ibunya.
“Kenapa kamu tidak mencegahku Ar,” jengkel juga akhirnya Lenti. mendapati
reaksi Arfi yang santai-santai saja.
“Gimana aku harus melarangmu?” tandas Arfi tapi lembut sekali. Arfi memang
lembut orangnya.” Aku bukan
tipe cowok yang suka mengatur-atur Len?”
Kali ini wajah Arfi menghadap pas di depan wajah
Lenti, sampai wajah di depannya menggeser ke belakang sedikit. Terasa sekali
raut gantengnya ingin meyakinkan sesuatu pada Lenti, meskipun wajahnya masih
datar-datar saja. Bodohnya Lenti tidak melihat
sesuatu yang berubah pada wajahnya. Wajah yang seharusnya
dinanti-nantikan Lenti. Terlanjur sudah, Lenti membelokkan pandangannya pada
tumpukan mangkok di sebelah sana. Sudah dapat dipastikan hati Lenti seperti
cabe yang diris-iris, berair dan terluka.Lenti berharap Arfi mencegah, sehingga
ada kekuatan special yang harus ditunjukkan pada ibunya. Kalau begini apa yang
harus dijadikan alasan terhadap kemauan ibu yang Lenti hormati. Hanya nol. Wajah
Lenti turun seolah tak berurat lagi, lemas, tak berdaya.
“Aku hanya ingin mengatakan kepada temanku yang
terbaik, hormati kemauan ibumu.” Arfi seolah menyiram air es pada tubuhnya.
Lenti menyadari telah membuat salah, kembali wajah cantiknya dihadapkan pada
Arfi. Tapi apa manfaat tangan Arfi memegang pundaknya, toh akhirnya kita akan
berpisah. Batinnya meratap.
Malam gelap. Tumben air hujan begitu lama membasahi
dedaunan hijau di depan rumah Lenti yang semakin menghijau. Arfi sudah tidak
bisa lagi dijadikan teman sepinya.
“Aku akan tetap menjadi anak Ibu yang sholihah.” ungkap Lenti kemudian
menyudahi menciumi tangan. Lambat laun tubuh Lenti mengecil dan hilang ditelan
taxi. Detik ini di pikiran Lenti hanya berharap Arfi mengantarkan ke Stasiun.
Mengatakan apa saja, yang penting dapat mendinginkan pikiran. Galau pikirannya
tidak mampu menembus hati Arfi nun di sana untuk melangkahkan kaki ke stasiun,
sekedar memandang sebentar wajah pilunya. Suara kereta api membawa Lenti masuk
dalam tumpukan angan-angan. Berniat melupakan Arfi selamanya. Babak baru
kehidupannya melebar jelas di halaman kalbu. Tuts tuts piano akan sanggup
membawanya terbang bagai Aladin. Melihat dunia nyata, senyata-nyatanya.
“Nggak usah khawatir Lenti, semuanya akan beres di
sini.” Paman Lenti memegang pundak Lenti mengantar ke kamarnya. Paman Lenti
membuka cakrawala seluas samudra. Kini
Lenti menegakkan tubuhnya menantang masa depan, yang kian mendekat.
Kini hari-harinya duduk didepan tuts-tuts piano. Perfec Liar mengalun sahdu dari bibir mungil merah jambu Lenti. Bayang-bayang Arfi semakin sedikit di pelupuk matanya. Harapan untuk selalu ada di waktu apapun, tetap menjadi impian yang sulit dihilangkan Lenti.
Suara tepuk tangan paman tercintanya membuat Lenti
menoleh, tersenyum tanpa arti, senyum bercampur duri, tapi pamannya tertawa
bangga pada kemenakan kesayangannya. “ Aku sangat kagum padamu Lenti, kamu
cepat bisa, baru kemarin kamu belajar piano, kini sudah seperti Putri Ariani.”
Lenti menelan senyum sampai dalam.hingga tangannya
lepas dari tuts tuts piano, dan membawa kakinya
ke kamar. Sulit sekali membuang bayangan seseorang yang berharap menjadi
nahkoda dalam bahtera rumah tangganya nanti. Pamannya tidak henti hentinya
menghibur Lenti agar melupakannya. Bahkan seringkali diajak healing keliling
Jakarta setiap akhir minggu.
“Angin malam akan selalu menemanimu, lupakan Arfi
Lenti. Cari pengganti. Banyak kok di Jakarta cowok keren-keren dan
bertanggungjawab.” hibur paman Arlando sambil menepuk-nepuk pundak Lenti. Eeh
nggak tahunya lampu merah. Mobil berhenti. Seperti tupai Lenti melompat keluar
mobil, matanya tertumbuk sosok tinggi semampai sedang melayani pembeli. Paman
Arlando berteriak memanggil Lenti, tapi tak digubrisnya. Setengah gugup Paman
Arlando membawa mobilnya lari membuntuti Lenti.
“Arfiii……” tanpa menunggu orangnya menoleh, Lenti
sudah menerkamnya. Dipeluk tubuh Arfi sekuat-kuatnya, darahnya sudah nterlanjur
mendidih.
“Akhirnya angin malam mempersatukann kita Lenti. Aku sangat mencintaimu.” suara lembut Arfi menyadarkan Lenti melepaskan pelukannya. Matanya beradu sebentar dan kemudian, giliran Arfi memeluk Lenti, dan mencium rambut hitamnya, yang terurai sedikit melintasi dahinya.
Banyuwangi,15 Desember 2024.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar